Potlot Adventure |
- Rona Merah Menawan Suku Tengger
- Menelusuri Gua Alami di Pulau Bui
- Garut dan Wisata Surga dari Timur
- Filosofi Museum Rudana
Rona Merah Menawan Suku Tengger Posted: 24 Jan 2012 04:26 PM PST KEELOKAN Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) tidak hanya pada panorama alam yang begitu memesona, tapi juga Suku Tengger-nya sendiri yang mendiami wilayah sekitaran Bromo. Suku Tengger memiliki ciri khas khusus pada rona wajah yang mereka miliki. Kulit di sekitar wajah mereka kemerah-merahan, hasil adaptasi dari suhu pegunungan Bromo yang sangat dingin. Boleh juga, ini menjadi pesona tersendiri bagi pelancong yang melirik penduduk asli Bromo ini. Berdasarkan mitos atau legenda yang bertahan di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama Tengger sendiri diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng†dari Roro Anteng dan “Ger†dari Joko Seger. Masyarakat Suku Tengger merupakan masyarakat yang sangat plural terutama pada masalah keyakinan spiritual. Terbagi menjadi tiga agama besar, Hindu, Budha dan Islam. Walaupun begitu kerukunan dan sikap toleransi beragama Suku Tengger tetap terjaga dengan kuat. Suku Tengger yang berdiam di Bromo sangat mudah dikenali karena selalu menggenakan sarung. Suku Tengger mengenal sarung dengan istilah kawengan. Sarung bagi Suku Tengger adalah baju atau jaket penghangat mereka. Kawengan digunakan untuk menepis serangan angin dingin yang menusuk tulang, selain karena harganya yang murah dan mudah di dapat di mana-mana dibandingkan pakaian hangat yang lain. Suku Tengger sangat mempertahankan seni dan budaya tradisional. Tarian khas mereka adalah tari sodoran yang kerap kali ditampilkan pada perayaan Karo dan Kasada. Dari sisi budaya, masyarakat Tengger berbudaya pertanian dan pegunungan yang kental, hal ini terlihat dari penghormatan berupa upacara adat pada dewa setelah panen. Mereka tidak pernah menjual ladang (tanah) kepada orang lain, apalagi orang yang berasal dari luar Bromo. Hasil pertanian utama suku Tengger adalah kentang, kubis, wortel, jagung dan tembakau. Mereka termasuk pengonsumsi tembakau yang cukup kuat. Sebagian dari mereka selain bertani menambah penghasilan menjadi porter para pendaki gunung Semeru atau menjadi pemanudu wisata di Bromo. Mereka juga kerap menawarkan kuda tunggangan untuk disewakan pada para wisatawan yang ingin merasakan desir pasir Bromo yang liat.(*/M-1) |
Menelusuri Gua Alami di Pulau Bui Posted: 24 Jan 2012 04:18 PM PST “MAU ke Karangbolong? Biaya sewa perahunya murah, hanya Rp15 ribu pulang balik. Nanti kalau sudah puas jalan-jalan, tinggal telepon saja,” kata Narno, 48, tukang perahu di Teluk Penyu, Cilacap. Karangbolong ialah pantai, sama seperti Teluk Penyu. Hanya saja pantai ini berada di sisi timur Pulau Nusakambangan. Untuk mencapai tempat itu kita harus menumpang perahu kecil menyusuri Segara Anakan. Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit. Begitu sampai ke pantai di Pulau Nusakambangan itu, suasana dan kondisi berbeda. Di tempat itu, pantainya berpasir putih, berbeda dengan pesisir Cilacap yang tertutup pasir hitam. Selepas pantai, perjalanan melewati hutan belantara. Hanya jalan setapak dari tanah yang ada di kawasan Nusakambangan timur ini. Dan, sekitar Sekitar 1 kilometer dari pantai membentang gua-gua yang masih alami dan disebut Eyang Wiryalodra. Stalagtit maupun stalagmitnya menakjubkan. Hanya saja gua tersebut hanya sedalam lima meter saja. Juru kunci gua di Nusakambangan Timur, Mardiyono, mengatakan di kawasan pantai timur Nusakambangan sesungguhnya ada dua gua, selain Eyang Wiryalodra ada pula Eyang Nagaraja. “Kedua gua ini bisanya dipakai untuk menyepi. Banyak yang datang ke sini untuk mengajukaan permohonan macam-macam,” ujarnya. Selama ini, kedua gua dibiarkan apa adanya. Bahkan, ada dindingnya yang ambrol. “Belum ada yang menyentuhnya untuk objek wisata komersial. Paling-paling yang datang ke sini hanya peziarah saja,” ungkap Mardiyono yang sejak kecil bermukim di Nusakambangan. Adapun gua-gua kecil juga menyebar dalam kawasan ini misalnya Gua Singabarong, Gua Kepatihan, dan lainnya. Bahkan di Pulau Majeti, pulau kecil di seberang Nusakambangan ada juga gua yang menarik karena menjadi tempat tumbuh bunga Wijaya Kusuma dan biasa digunakan sebagai ritual larungan saat Sedekah Laut nelayan Cilacap. “Setiap gua di Nusakambangan mempunyai makna masing-masing sesuai dengan karakternya. Semuanya juga memiliki sejarah sendiri,” imbuh dia. Pada umumnya gua di Nusakambangan banyak dipakai untuk kegiatan menyepi dibandingkan sebagai tempat wisata. Gua di barat Selain stalagtit dan stalagmit yang menjulang, di dalam gua terdapat mata air yang kemudian digunakan untuk membersihkan diri atau mengambil air sembahyang. Untuk sampai ke Gua Masigitsela butuh waktu yang lebih lama lagi karena jalur yang harus ditempuh yaitu ber perahu dua jam dari Cilacap. Setelah sampai ke Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, masih harus berjalan kaki lagi melewati setapak sekitar setengah jam. “Umumnya yang datang hanya peziarah yang berdoa memohon sesuatu,” kata Agus, 37, warga Desa Klaces. Masih di sekitar Nusakambangan barat, ada juga Gua Bendung. Gua tersebut, berdasarkan penuturan warga dan juga disebutkan oleh Dinas Pariwisata Cilacap, pernah digunakan untuk ibadah umat Nasrani pada abad ke-16 ketika Belanda menguasai Indonesia. Kini, gua yang memiliki lorong 150 meter dan lebar 10 meter tersebut dikenal sebagai Gua Maria. Disebut Gua Maria karena di dalamnya ada altar tempat berkhotbah dan stalagtit yang bentuknya seperti Bunda Maria. Biasanya yang datang adalah para peziarah umat Katolik dan gua ramai pada waktu menjelang Paskah. Sebetulnya masih banyak gua-gua lainnya yang ada di Pulau Nusakambangan, namun sejauh ini tidak ada satupun yang digarap secara komersial. Sebab, Pulau Nusakambangan telah diputuskan sebagai pulau tertutup. (N-4) |
Garut dan Wisata Surga dari Timur Posted: 23 Jan 2012 08:06 PM PST UDARA nan sejuk berpadu landskap perbukitan menjadi ramuan pas untuk menikmati alam. Diapit gunung Guntur, Papandayan, dan Cikuray yang masih aktif, Garut telah memikat hati banyak orang. Bahkan pada 1910, Officieel Touristen Bureau, Weltevreden, menyebut Garut sebagai Paradijs van Oosten atau surga dari timur. Kota Dodol ini, terletak di sebelah tenggara Kota Bandung, 250 km dari Jakarta. Perjalanannya dapat ditempuh dalam waktu tiga setengah jam dari Ibu Kota. Menjelajah Garut bersama National Geographic dan Cevron Geothermal, Januari lalu sungguh berkesan. Kota yang juga terkenal dengan dombanya itu tentu tak bisa dinikmati dengan berendam air panas saja. Alam yang menantang sungguh sayang dilewatkan. Pantai di selatan membujur hingga 90 kilometer panjangnya. Air terjun dan situ-situ alami menyejukan mata. Pengunungan menjulang tinggi hingga 2.821 meter. Belum lagi kekayaan budaya seperti acara surak ibra, raja dogar, dan bangunan-bangunan tua. Gunung Papandayan bisa menjadi awal pertualangan pertama Anda di Swiss van Java. Terletak di kecamatan Cisurupan, 29 kilometer dari pusat kota Garut, Papandayan menjadi favorit bagi para pendaki pemula. Untuk mencapai Gunung Papandayan, naiklah kendaraan umum dari pusat kota menuju Cijulang. Kemudian turun di pertigaan Cisurupan. Dari sana, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menyewa ojek atau angkot hingga sampai di pelataran parkir gunung Papandayan. Mendaki Mendaki lebih ke atas, Anda akan menjumpai kawah belerang yang mengeluarkan asap putih. Sesekali terlihat cairan kuning dimulut kawah, menandakan kepekatan belerangnya. Agar asap tak membuat pedih, cobalah berjalan agak menunduk, menghindari kontak langsung dengan asap. Jangan lupa, kenakan masker atau saputangan agar bau menyengat tak membuat kepala pusing. Setelah melewati kepulan asap belerang, pesona kawah bisa dinikmati dari atas. Tentu bertambah nikmat dengan iringan melodi air yang turun ke kaki bukit. Tak jauh dari situ, terdapat danau. Lebarnya bisa mencapai seratus meter. “Warna airnya bisa berubah-ubah tergantung cuaca,” ujar Dede, yang pemandu pendakian. Mencapai ketinggian 2.300 meter, pepohonan mati menciptakan pemandangan berbeda. Batang pohon-pohon itu hitam legam, hampir jadi arang. Pijakan tak lagi dipenuhi batu melainkan lapisan abu yang putih. Tempat ini kental dengan suasana kematian. Seakan ada panas api yang dengan cepat memberangus kehidupan. Wilayah itu dikenal dengan nama ‘gunung salju’. Kontur pemandangannya tercipta karena letusan gunung Papandayan pada 2002 lalu. Kepulan uap panas ketika itu, membakar pepohonan, juga mengendapkan abu di bawahnya. Kalau ingin menyaksikan matahari terbit, sebaiknya mendaki pada saat malam. “Sekitar jam sebelas ke atas,” kata Dede yang kerap menemani mahasiswa pecinta alam mendaki di malam hari. Setelah beristirahat dan puas menikmati megahnya Papandayan, tiba saatnya untuk menuruni gunung. Salah besar kalau ada anggapan menuruni gunung adalah hal mudah. Walau tak butuh energi besar seperti ketika mendaki, tapi gravitasi betul-betul menyulitkan. Belum lagi kerikil-kelikil yang membuat pijakan tidak stabil. Agar tak tergelincir, miringkan posisi telapak kaki seperti Anda ingin berjalan miring. Pusatkan tumpuan pada tumit dan turun perlahan. Selesai mendaki Papandayan, jangan lupa akan rencana selanjutnya. Peta Segitiga Wisata Garut keluaran National Geographic bisa jadi pemandu. Tempat wisata unggulannya termasuk Situ Bangendit, Kawah Papandayan, dan Situ Cangkuang. Bagi yang suka berwisata di dalam kota, cobalah berwisata ziarah ke Makam Pangeran Papak di Wanajara, atau nikmati sejarah kota di Stasiun Cibatu. Tak lupa, bungkus beberapa helai batik tulis Garutan yang dapat dibeli di tengah kota, dodol manis, kerajinan kulit, dan anyaman bambu khas Garut untuk oleh-oleh.(mediaindonesia.com/M-3) |
Posted: 23 Jan 2012 06:35 PM PST MUSEUM Rudana yang lokasinya tepat di pusat seni Ubud, Bali, memiliki pemandangan sawah yang sejuk, nyaman, serta memberikan kesan yang asri. Museum seni lukis ini berdiri atas prakarsa Presiden RI Soeharto dan sang istri, Tien Soeharto. Koleksi Museum Rudana terdiri dari lukisan tradisional 108 buah, lukisan modern 216 buah, patung 55 buah, topeng 10 buah, wayang kulit dan dilengkapi juga dengan senjata Nawa Sanga 9 buah. Pada struktur bangunannya, Museum Rudana mempersembahkan arsitektur asal Bali dengan tiga lantai sesuai dengan filosofi Bali, Tri Angga Yaitu, tiga bagian tubuh manusia yang terdiri dari kepala, badan dan kaki. Hal ini disesuaikan juga dengan Tri Mandala yang merupakan tiga bagian halaman museum, Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Isi. Lalu juga ada Tri Loka yang merupakan tiga tingkatan alam semesta yaitu Bhur, Bwah, dan Swah. Atau dengan Tri Hita Karana yaitu tingkatan/hubungan manusia hidup di dunia seperti manusia dengan alam (palemahan), manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan Tuhan (parahyangan). Konsep filosofi tersebut erat kaitannya dengan perkembangan seni rupa yang dapat memberikan regenarasi seniman dari zaman ke zaman, layaknya benang emas yang tidak dapat putus. Museum secara resmi dibuka pada 26 Desember 1995 oleh Presiden Soeharto yang juga berbarengan dengan memperingati ulang tahun Republik Indonesia ke 50. Peresmian ditandai dengan penandatanganan prasasti yang dihadiri oleh para menteri, seniman beserta masyarakat. Museum yang berdiri di Jl. Cok Rai Pudak no 44, Kelurahan Paliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, itu beroperasi setiap hari dari Senin hingga Minggu, pukul 08.00-17.00 WITA. Sedangkan pada hari raya atau hari besar lainnya, museum ini tutup. Untuk harga tiket masuknya, museum ini memasang tarif untuk dewasa sebesar Rp 20.000 dan anak-anak, Rp 10.000. Bila Anda datang ke Museum Rudana bersama rombongan, pihak pengelola Museum memberikan diskon 50%. (mediaindonesia.com/OL-5) |
You are subscribed to email updates from Potlot Adventure To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 comments:
Post a Comment